(Tokoh dan ajaran pokoknya)
Ketika Nabi Muhammad masih hidup, tidak ada perbedaan pandangan di antara umat islam, sebab segala permasalahan masih dapat ditanyakan langsung kepada Nabi. Namun setelah Nabi wafat, mulai banyak timbul pertentangan, terbukti dengan sejarah proses awal pemilihan kekhalifahan. Pada saat itu, pemakaman Nabi menjadi permasalahan kedua sebab umat islam Madinah disibukkan dengan penentuan khalifah pengganti Nabi.
Di awal masa Khulafa al Ra>shidi>n memang perbedaan itu belum nampak dengan jelas. Akan tetapi kemudian pada Masa pemerintahan Khalifah Uthma>n Ibn Affa>n mulai terjadi banyak pemberontakan karena kebijakan politik Khalifan Uthma>n yang mengangkat para pejabat negara dari kalangan keluarganya. Tindakan ini mengakibatkan terjadinya pembunuhan Uthma>n oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir.
Kemudian perbedaan ini semakin tajam pada masa kekhalifahan ‘Ali> Ibn Abi> T{a>lib. Diawali dengan peristiwa arbitrase yang kemudian menimbulkan perpecahan menjadi beberapa golongan seperti Khawa>rij, Shi>’ah, dan Murji’ah. Permasalahan politik ini kemudian meningkat menjadi masalah teologi yang semakin memunculkan banyak perbedaan pandangan. Bahkan dari perbedaan tersebut pada akhirnya terjadi perdebatan sengit diantara para ulama hingga menimbulkan tuduhan-tuduhan pengafiran oleh satu kelompok kepada kelompok yang tidak memiliki pandangan yang sama. Mereka saling mengklaim sebagai kelompok yang paling benar dan menilai yang lain salah kendati tetap menghormati pendapat lain. Di antara kelompok-kelompok aliran teologi tersebut, banyak kalangan yang menilai bahwa aliran Ash’a>riyah dan Maturidiyah sebagai aliran yang lebih moderat.
PEMBAHASAN
A. Sejarah Lahirnya Madhab Ash’a>riyah
Madhab Ash’a>riyah muncul sebagai penengah antara aliran Mu’tazilah yang lebih mengutamakan rasio atau akal dengan aliran Hanabilah yang sangat tekstual terhadap Al Qur’an dan Al Hadith. Madhab ini dinisbatkan pada pencetusnya yakni Abu> Al Hasan Al Ash’a>ri meskipun memang dalam perkembangannya tidak lepas dari pengaruh tiga ulama besar lain yakni Al Baqilla>ni, Al Juwaini, dan Al Ghaza>li. Aliran ini menganut paham Ahlu As Sunnah wa Al Jama>’ah serta berpegang teguh pada Sunnah sehingga juga disebut golongan Sunni.
Sunnah berarti tradisi atau perjalanan, dalam hal ini adalah tradisi dan perjalanan Nabi Muhammad SAW. Jama>’ah berarti kumpulan, dalam hal ini adalah kumpulan para sahabat Rasulullah. Sehingga Ahlu As Sunnah Wa Al Jama>’ah dapat diartikan paham suatu golongan yang berpegang teguh pada norma-norma dalam Sunnah Rasul dan pada Khulafa> Al Ra>shidi>n disamping kepada kaidah-kaidah dalam Al Qur’an, baik dalam bidang aqidah maupun dalam syari’ah.
Sebelumnya, golongan Mu’tazilah yang menjadi identitas masyarakat, termasuk Al Ash’a>ri sendiri yang menjadi bagian dari mereka sampai usia 40 tahun. Kaum Mu’tazilah menganut paham qadariyah yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam berpikir, kemauan, dan perbuatan. Pemuka-pemuka Mu’tazilah memakai kekerasan dalam usaha menyiarkan ajaran mereka terutama pada zaman khalifah Bani Abbas Al Ma’mu>n, Al Mu’tas}im, dan Al Wa>siq (813-847 M). Pada masa pemerintahan ketiga khalifah tersebut, terjadi peristiwa mihnan, dimana para pemuka agama diuji dengan pertanyaan-pertanyaan yang kemudian mengarahkan mereka agar berpindah mengikuti aliran Mu’tazilah. Mereka menghukum pemuka yang kukuh pada pendiriannya yang tidak sepaham dengan Mu’tazilah termasuk diantaranya Ahmad Ibnu Hanbal.
Namun peristiwa mihnah ini berakhir seiring bergantinya kepemimpinan khalifah yang kemudian dipegang oleh Al Mutawakkil. Beliau membatalkan pemakaian aliran Mu’tazilah sebagai madhab negara pada tahun 848 M. Sehingga pengaruh Mu’tazilah berangsur-angsur menurun.
Kondisi pemerintahan yang seperti inilah yang menimbulkan keberanian dalam diri pemuka agama untuk mengekspresikan hasil pemikiran mereka. Al Ash’a>ri sendiri awalnya adalah pengikut aliran Mu’tazilah. Namun, perbedaan pandangan yang ada membuat Al Ash’a>ri keluar dari kelompok ini dan akhirnya mendirikan kelompok sendiri dengan nama Ash’a>riyah. Salah satu tuduhan yang dialamatkan kepadanya adalah dirinya kecewa karena kalah bersaing dengan Al Jubba>’i, ayah tirinya, dalam menduduki posisi sebagai tokoh Mu’tazilah. Al Ash’a>ri berupaya sekuat tenaga menangkal segala tuduhan yang dialamatkan kepadanya sembari berjuang menguatkan paham kaum Sunni. Upayanya ia tuangkan dalam bentuk karya-karya yang sangat kemudian sangat populer.
Al Ash’a>ri tampil sekitar satu abad setelah Al Imam Al Shafi’i (wafat pada 209 H/892 M), atau setengah abad setelah Al Bukha>ri (wafat pada 256 H/ 870 M). Dan hidup beberapa belas tahun sezaman dengan pembukuan Hadith yang terakhir dari tokoh yang enam, yaitu Al Tirmi>dhi (wafat pada 279 H/892 M).
Hal ini berarti bahwa Al Ash’a>ri hidup pada masa pembukuan hadith yang menjadi bagian mutlaknya telah mendekati penyelesaian. Sehingga ajaran Ash’a>riyah menggunakan penalaran ortodoks karena lebih setia kepada sumber-sumber islam sendiri seperti Kitab Allah dan Sunnah Rasul daripada penalaran kaum Mu’tazilah. Namun juga menggunakan argumen-argumen logis meskipun metode ta’wi>l hanya menduduki tempat sekunder dalam sistem Al Ash’a>ri.
Walaupun demikian, sungguh sangat menarik bahwa dalam pegumulan pemikiran yang sengit di bidang teologi itu, akhirnya Imam Abu> Al Hasan Al Ash’a>ri dari Bas}rah tersebut memperoleh kemenangan yang besar. Ini terutama sejak tampilnya Imam Al Ghaza>li sekitar dua abad setelah Al Ash’a>ri. Dengan kekuatan argumennya yang luar biasa serta kehidupannya yang penuh zuhud, Al Ghaza>li mampu mengembangkan paham Sunni dalam aqidah.
Pada awalnya memang aliran ini tidak begitu cepat menyebar karena kuatnya pengaruh Mu’tazilah dalam pemerintahan. Perkembangannya mengalamai kenaikan dan penurun seiring dengan kebijaksanaan para pemimpin pemerintahan. Setelah mengalami kemajuan pada masa Al Mutawakkil, aliran Mu’tazilah berkembang lagi dalam masa pemerintahan dinasti Buwaih di Baghda>d. Sebab dinasti ini beraliran Syi’ah, sedangkan konsep dan cara berpikir kaum Syi’ah lebih mirip dengan konsep Mu’tazilah daripada Ash’a>riyah. Bahkan terjadi perburuan dan penangkapan terhadap pemuka-pemuka Ash’a>riyah.
Peristiwa ini berakhir pada masa perdana menteri Niza>m al Mulk yang merupakan penganut aliran Ash’a>riyah. Dan aliran Mu’tazilah mundur kembali. Ia mendirikan sekolah-sekolah yang diberi nama al Niza>miyah, diantaranya di Baghda>d dimana Al Ghaza>li, sebagai penyebar paling kuat dalam aliran Ash’a>riyah, merupakan salah satu pengajarnya.
Di Mesir, aliran ini dibawa oleh S{ala>h al Di>n al Ayyu>bi> sebagai ganti aliran Syi’ah yang dianut kerajaan Fatimiyah. Di Maroko dan Andalusia aliran ini disebarkan oleh Muhammad Ibn Tumart, murid Al Ghaza>li yang kemudian mendirikan kerajaan Muwahhid di Afrika Utara dan Spanyol. Dan di belahan Timur, aliran ini dibawa oleh Mahmu>d al Ghaznawi sampai ke India dan Irak. Pada masa itu, aliran Ash’a>riyah telah menyebar luas dan tidak ada yang menandingi.
Dengan mengamati perkembangan paham Ash’a>riyah yang ternyata dapat diterima oleh sedemikian besar kaum muslim, bahkan melebihi penerimaan terhadap kemadhaban dalam fiqih. Sehingga paham Ash’a>riyah ini kemudian menjadi paham yang paling luas dalam dunia islam. Dan Al Ash’a>ri disebut sebagai pemikir islam klasik yang paling sukses. Beliau disebut sebagai Shaikh Ahl Al Sunnah Wa Al Jama>’ah sebagaimana senantiasa digunakan pada lembaran judul karya-karyanya.
B. Tokoh- Tokoh Madhab Ash’a>riyah
1. Abu> Al Hasan Al Ash’a>ri
Abu> Al Hasan Ali Ibn Isma>il Al Ash’a>ri keturunan Abu> Mu>sa> Al Ash’a>ri, salah seorang perantara dalam sengketa antara ‘Ali> Ibn Abi> T{a>lib dan Mu’a>wiyah. Al Ash’a>ri dilahirkan di Bas}rah pada tahun 873 M, namun sebagian besar hidupnya di Baghda>d. Dia lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mengikuti paham Ahlu As Sunnah Wa Al Jam>’ah. Hal ini terbukti bahwa ketika Isma>’i>l menjelang wafat, dia berwasiat agar Al Ash’a>ri diasuh oleh Imam Al Ha>fidh Zakariya Al Saji, pakar hadith dan fiqih madhab Ash Sha>fi’i yang sangat populer dikota Bas}rah.
Pada waktu kecil, ia berguru pada seorang tokoh Mu’tazilah terkenal yaitu Abu> ‘Ali Al Jubba>‘i. Al Jubba>‘i merupakan ayah tiri Al Ash’a>ri semenjak ia berusia 10 tahun. Sejak saat itu pula Al Ash’a>ri tumbuh sebagai penganut paham Mu’tazilah. Bahkan Al Ash’a>ri sering ditunjuk untuk mewakili Al Jubba>‘i dalam debat-debat keagamaan. Aliran ini diikutinya terus sampai berusia 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku tentang paham Mu’tazilah.
Pada usia yang cukup matang tersebut yakni 40 tahun, Al Ash’a>ri semakin meragukan kebenaran paham yang dianutnya selama ini, terutama setelah terjadi dialog dengan gurunya sebagai berikut:
Al Ash’a>ri (A) : “Bagaimana kedudukan orang mukmin dan orang kafir menurut Tuan?”
Al Jubba>’i (B) : “Orang mukmin mendapat tingkat tinggi di dalam surga karena imannya dan orang kafir masuk ke dalam neraka.”
(A) : “Bagaimana dengan anak kecil?”
(B) : “Anak kecil tidak akan masuk neraka.”
(A) : “Dapatkah anak kecil mendapatkan tingkat yang tinggi seperti orang mukmin?”
(B) : “Tidak, karena tidak pernah berbuat baik.”
(A): “Kalau demikian anak kecil itu akan memprotes Allah kenapa ia tidak diberi umur panjang untuk berbuat kebaikan.”
(B): “Allah akan menjawab, kalau aku biarkan engkau hidup engkau akan berbuat kejahatan atau kekafiran sehingga engkau tidak akan selamat.”
(A): “Kalau demikian, orang kafir pun akan protes ketika masuk neraka, mengapa Allah tidak mematikannya sewaktu kecil agar ia selamat dari neraka.”
Al Jubba>’i tidak dapat menjawab lagi.
Beberapa riwayat mengatakan bahwa Al Ash’a>ri kemudian mengasingkan diri di rumah selama 15 hari untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Sesudah itu, ia keluar rumah dan pergi ke masjid, kemudian naik mimbar seraya berkata:
“Hadirin sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berpikir tentang keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang diberikan masing-masing golongan. Dalil-dalil yang dimajukan, dalam penelitian saya, sama kuatnya. Oleh karena itu saya meminta petunjuk dari Allah dan atas petunjukNya saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan-keyakinan baru yang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini.” Disini Al Ash’a>ri dikisahkan benar-benar melepas bajunya kemudian dilemparkannya.
Berawal dari peristiwa ini, kemudian Al Ash’a>ri semakin mendalami paham sunny dan menghasilkan karya-karya besar diantaranya ialah: Al ‘Uma>d fi> al Ri’yah ( tentang dalil mungkinnya melihat Allah di akhirat), Risa>lah Ihtisa>n al Khaud} fi> ‘Ilm al Kala>m ( tentang kritik dan bantahan terhadap sebagian kalangan Hanabilah), Al Luma>’ fi> al Radd ‘ala> Ahl al Zaigh wa al Bida>’ (tentang teologi Al Ash’a>ri yang semakin matang), Maqa>lat al Isla>miyyi>n wa Ikhtila>f al Mus}alli>n (tentang sejarah beragam aliran dalam islam serta pandangan-pandangannya), Tafsi>r al Qur’a>n wa al Radd ‘ala> Man Khalafa al Baya>n min Ahl al Ifk wa al Buhta>n, Al Iba>nah ‘an Ushu>l al Diya>nah (tentang dasar-dasar aqidah Al Ash’a>ri serta bantahan terhadap kelompok Mu’tazilah), dan banyak kitab lain meskipun kitab yang sampai kepada kita tidak lebih dari 90 kitab. Al Ash’a>ri wafat pada tahun 935 M.
2. Al Qa>d}i Abu> Bakar al Baqilla>ni
Al Qa>d}i Abu> Bakar Muhammad ibn al T{ayyi>b ibn Muhammad ibn Ja’fa>r al Baqilla>ni, ulama terkemuka dalam madhab Ash’a>riyah, penyandang julukan Saif al Sunnah (pedang al Sunnah), Lisa>n al Ummah (juru bicara umat), teolog yang mengikuti metodologi Al Ash’a>ri. Beliau merupakan pemimpin madhab Maliki pada masanya. Al Baqilla>ni dilahirkan di kota Bas}rah, dan tinggal di Baghda>d hingga wafat. Beliau belajar ilmu kalam pada Ibn al Muja>hid, murid Al Ash’a>ri.
Al Baqilla>ni juga sama gigihnya dengan Al Ash’a>ri dalam menyebarkan madhab Ash’a>riyah. Beliau aktif menghadiri diskusi ataupun debat dalam mempertahankan alirannya. Al Baqilla>ni juga memiliki banyak murid yang kemudian semakin memperluas penyebaran paham Ash’a>riyah ini.
Al Baqilla>ni wafat di Baghda>d pada tahun 403 H/1013 M dengan meninggalkan murid-murid yang intens menyebarkan madhab Ash’a>riyah di Hija>z, Khurasa>n, Irak, dan lain-lain. Al Baqilla>ni juga meninggalkan banyak karya terkenal dalam bidang teologi dan fiqih seperti I’ja>z al Qur’a>n, Daqa>iq al Kala>m, dan lain-lain.
3. Al Haramain al Juwaini
Ruknuddi>n Abu> al Ma’a>li Abd al Ma>lik ibn Abd Allah ibn Yusu>f ibn Muhammad al Juwaini, ulama terkemuka madhab Shafi’i dan penyandang gelar Ima>m al Haramain (Imam Dua Tanah Suci). Al Juwaini dilahirkan di Khurasa>n pada tahun 419 H/1028 M. Beliau juga termasuk ulama yang produktif dalam berkarya baik dalam bidang teologi, ushul fiqih, dan fiqih. Karyanya dalam bidang teologi diantaranya al Irsha>d ila> Qawa>t}i’ al Adillah fi> Ushu>l al I’tiqa>d, al Shamil fi> Ushu>l al Di>n, Luma>’ al Adillah dan al ‘Aqidah al Niz}a>miyah. Al Juwaini wafat pada tahun 478 H/1085 M.
4. Hujjatu al Isla>m al Ghaza>li
Al Ima>m Zainuddi>n Abu> Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al Ghaza>li, pakar fiqih, tasawuf, teologi, ushul fiqih, dan filsafat yang menyandang gelar Hujjatu al Isla>m. Al Ghaza>li dilahirkan di kota Thus, daerah Khurasan pada tahun 450 H/1058 M. Beliau dikenal dengan al Ghaza>li karena ayahnya bekerja sebagai pemintal tenun wol atau karena beliau berasal dari desa Ghaza>lah.
Dalam bidang teologi al Ghaza>li menghasilkan karya diantaranya yakni al Iqtis}a>d fi> al I’tiqa>d, Ilja>m al ‘Awa>m ‘an ‘Ilm al Kala>m, al Qist}as al Mustaqi>m, Qawa>’id al ‘Aqa>id, dan lain-lain. Al Ghaza>li wafat pada hari Senin 14 Jumadil Akhir 505 H/17 Desember 1111M dan jasadnya dimakamkan di T{abara>n.
C. Konsep Pemikiran Madhab Ash’a>riyah
Usaha Al Ash’a>ri untuk keluar dari pertentangan pemikiran antara kelompok Hanabilah dan Mu’tazilah, membuahkan pemikiran yang berbeda dari keduanya. Al Ash’a>ri menggunakan metode tekstual yakni Al Qur’an dan Al Hadith, namun tidak mengesampingkan rasio atau akal meskipun hanya digunakan pada metode kedua.
Pokok-pokok ajaran yang diungkapkan Al Ash’a>ri yang paling utama dan merupakan bantahan terhadap ajaran kelompok Mu’tazilah yakni sebagai berikut:
1. Tuhan Allah mempunyai sifat
Al Ash’a>ri mengatakan bahwa mustahil Tuhan tidak mempunyai sifat. Tuhan memiliki sifat yang mesti (wajib), tidak mungkin (mustahil), dan sifat yang harus ada pada Tuhan. Sebagaimana firman Allah SWT:
uqèd ª!$# “Ï%©!$# Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd ( ÞOÎ=»tã É=ø‹tóø9$# Íoy‰»yg¤±9$#ur ( uqèd ß`»oH÷q§9$# ÞOŠÏm§9$#
“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.
Tuhan mengetahui bukan dengan zat-Nya, karena jika Allah mengetahui dengan zat-Nya, dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Padahal Tuhan bukan pengetahuan(‘ilm), melainkan Yang Mengetahui(‘A>lim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan Nya, bukan dengan zat Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti hidup, berkuasa, mendengar, melihat, berfirman, dan berkehendak. Sifat-sifat tersebut tentu harus terpisah dari zat Tuhan. Maka, Tuhan dikatakan memiliki sifat. Sifat Tuhan adalah sifat yang qa>dim yang berdiri di atas zat yang qa>dim.
Akan tetapi untuk hal ini, Al Baqilla>ni tidak sependapat dengan Al Ash’a>ri. Menurutnya, apa yang disebut sifat oleh Al Ash’a>ri tersebut bukanlah sifat, melainkan h}al.
2. Al Qur’an bukan makhluk
Tuhan bersama sifat Nya adalah qa>dim. Kalam Allah yang qa>dim itu diperdengarkan kepada malaikat Jibril dan kemudian diberitakan kepada nabi Muhammad sebagai wahyu. Adapun yang tertulis dalam mash}af, yang dibaca oleh umat islam setiap hari adalah madlu>l (bentuk yang dirupakan) dari kalam Allah yang qa>dim tadi. Oleh karena Al Qur’an merupakan kalam (firman) Allah, maka Al Qur’an juga bersifat kekal.
3. Pembuat dosa besar
Sejalan dengan pemikiran murji’ah, Al Ash’a>ri berpendapat bahwa orang yang beriman yang melakukan dosa besar tidak disebut sebagai orang kafir, melainkan disebut sebagai orang yang durhaka atau fa>siq. Sehingga ia masih dapat masuk surga. Meskipun tentunya ia harus merasakan siksa neraka terlebih dahulu.
4. Tuhan dapat dilihat
Al Ghaza>li, yang memiliki hasil pemikiran yang selalu sama dengan Al Ash’a>ri, mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat karena Tuhan itu wujud, dan sesuatu yang mempunyai wujud dapat dilihat.
Sementara Al Ash’a>ri sendiri beralasan bahwa sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang membawa kepada arti diciptakannya Tuhan. Sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak membawa kepada hal ini, sebab apa yang dapat dilihat belum tentu ia harus bersifat diciptakan. Karena wujud Allah yang qa>dim ada dengan sendirinya, tidak ada yang menciptakan.
Allah dapat dilihat di akhirat. Terlepas bagaimanapun caranya sehingga manusia dapat melihat Allah, telah banyak ayat Al Qur’an yang mengandung pengertian bahwa kelak manusia dapat melihat Allah. Yakni orang-orang yang beriman dan beramal s{aleh.
5. Anthropomorphisme
Menurut Al Ash’a>ri, Tuhan mempunyai muka, tangan, mata, dan sebagainya dengan tidak ditentukan bagaimana bentuk Nya, yang tentu saja tidak dapat digambarkan seperti bentuk tubuh manusia. Karena keduanya memiliki perbedaan yang sangat nyata.
Akan tetapi Al Juwaini memiliki pemikiran yang berbeda dengan Al Ash’a>ri. Al Juwaini berpendapat bahwa tangan Tuhan harus diartikan secara ta’wi>l sebagai kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan, wajah Tuhan diartikan wujud Tuhan, dan keadaan duduk Tuhan di atas tahta kerajaan diartikan Tuhan Berkuasa dan Maha Tinggi.
6. Perbuatan manusia
Bagi Al Ash’a>ri, perbuatan manusia tidak diwujudkan oleh manusia sendiri, melainkan pada hakikatnya perbuatan manusia diciptakan oleh Alllah. Yang dalam hal ini disebut Al Ash’a>ri sebagai kasb (perolehan). Berikut ini tiga bait syair yang menjelaskan tentang pengertian kasb yang diterjemahkan dari kitab Jawhara>t al Tawhi>d:
“Bagi kita, hamba (manusia) dibebani kasb, namun kasb itu, ketahuilah, tidak akan berpengaruh.
Maka manusia tidaklah terpaksa, dan tidak pula bebas, dan tidak pula masing-masing itu berbuat dengan kebebasan.
Jika Dia (Allah) memberi pahala kita maka semata karena murah Nya, dan jika Dia menyiksa kita maka semata karena adil Nya.”
Jadi, manusia tetap dibebani kewajiban melakukan kasb melalui ikhtiarnya, namun hendaknya ia ketahui bahwa usaha itu tidak akan berpengaruh apa-apa pada kegiatannya. Karena kewajiban usaha atau kasb itu maka manusia bukanlah dalam keadaan tak berdaya. Tetapi karena usahanya tidak berpengaruh apa-apa terhadap kegiatannya maka ia pun bukanlah makhluk yang bebas yang menentukan sendiri kegiatannya. Jika Allah memberi pahala adalah semata-mata karena murah Nya, bukan karena perbuatan manusia. Dan jika Allah memberikan siksa maka itu hanyalah karena keadilan Nya, juga bukan karena perbuatan manusia.
Kutipan di atas menggambarkan betapa sulit dan rumitnnya memahami konsep kasb dalam paham Ash’a>ri. Maka tidak heran jika dalam konsep inilah Al Ash’a>ri banyak menuai kritikan tajam. Namun memang wajar adanya jika Al Ash’a>ri muncul dengan konsep kasb yang demikian sebab beliau menginginkan untuk menengahi antara pendapat kaum Jabariyah dengan Qadariyah.
Al Baqilla>ni sendiri memiliki pandangan yang berbeda mengenai kasb ini. Menurut Al Baqilla>ni manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam pewujudan perbuatannya. Yang diwujudkan oleh Tuhan adalah gerak yang terdapat dalam diri manusia, namun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Dengan kata lain, gerak dalam diri manusia mengambil berbagai bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya. Gerak sebagai genus (jenis) adalah ciptaan Tuhan, tetapi duduk, berdiri dan sebagainya yang merupakan spectes dari gerak, adalah perbuatan manusia. Bahkan Al Juwaini berpendapat lebih jauh lagi, bahwa daya yang ada pada manusia juga mempunyai efek. Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya ini bergantung pula pada sebab lain, dan wujud sebab ini bergantung pula pada sebab lain demikian seterusnya sampai kepada sebab dari segala sebab yakni Tuhan.
Pokok-pokok ajaran di atas merupakan hasil pemikiran madhab Ash’a>riyah yang paling sering dibahas. Meskipun terdapat beberapa perbedaan pendapat diantara para tokohnya, namun pada kenyataannya aliran ini memiliki jumlah pengikut yang cukup besar dalam perkembangan islam sampai sekarang.
PENUTUP
1. Madhab Ash’a>riyah muncul sebagai penengah antara aliran Mu’tazilah dan Hanabilah, serta berada di tengah-tengah pemikiran kaum Jabariyah dan Qadariyah. Dalam perkembangannya, semula Al Ash’a>ri belum dapat menyebar luaskannya dengan cepat secara langsung. Karena mengalami kenaikan dan penurunan seiring dengan kebijakan pemerintah yang sedang berlaku. Aliran ini berkembang sangat pesat pada masa Al Ghaza>li.
2. Tokoh-tokoh madhab Ash’a>riyah selain Al Ash’a>ri yakni Al Baqilla>ni, Al Juwaini dan Al Ghaza>li. Meskipun memang terdapat sedikit perbedaan dalam pemikiran masing-masing tokoh, kecuali pemikiran Al Ghaza>li yang hamper sama dengan Al Ash’a>ri.
3. Ajaran pokok dalam paham Al Ash’a>ri meliputi:
a. Tuhan Allah mempunyai sifat, sifat Tuhan terpisah dari zat Nya.
b. Al Qur’an bukan makhluk karena Al Qur’an merupakan kalam Tuhan yang qa>dim, bukan makhluk yang bersifat hudu>th.
c. Pembuat dosa besar akan tetap masuk surga jika ia masih memiliki iman di dalam hatinya. Meskipun memang ia tetap harus merasakan siksa neraka terlebih dahulu.
d. Tuhan dapat dilihat di akhirat sebab segala sesuatu yang memiliki wujud tentu dapat dilihat.
e. Anthropomorphisme, bahwa Tuhan memiliki muka, tangan, mata dan anggota tubuh lain hanya saja bentuknya tidak ditentukan dan tidak memiliki batas.
f. Perbuatan manusia ditentukan oleh Tuhan. Manusia memiliki daya akan tetapi tetaplah Tuhan yang menentukan segala perbuatannya.
http://referensiagama.blogspot.com