Sisi Humanis Manuskrip Kitab Nusantara

Indonesia masa lalu, ketika itu masih disebut Nusantara, telah mewariskan khazanah manuskrip kitab keagamaan dalam jumlah besar. Hal yang sebetulnya membuat Indonesia patut disebut sebagai salah satu pusat keilmuan Islam dunia.

Sebut saja kitab tafsir Melayu pertama asal Aceh abad 17, Tarjuman al-mustafid karangan Abdurrauf al-Sinkili (1615-1693), atau kitab hadis Melayu pertama, al-Fawa'id al-bahiyah fi al-ahadith al-nabawiyah karangan Nuruddin al-Raniri (w. 1658), kitab masterpiece di bidang tasawuf, Siar al-salikin dan Hidayat al-salikin karangan Abdussmad al-Palimbani asal Palembang, dan masih banyak lagi kitab-kitab lokal penting lainnya dari berbagai wilayah di Indonesia.


Banyak orang langsung berfikir adanya kesan serius, angker, berat, dan teramat akademis kala mendengar istilah ‘kitab keagamaan’. Tidak salah juga karena yang disebut sebagai ‘kitab keagamaan’ biasanya memang berisi pembahasan ajaran-ajaran fikih, tauhid, tasawuf, tafsir, hadis, dan topik-topik keilmuan Islam lainnya, seperti dicontohkan di atas.

Namun, jika mengamati manuskrip kitab keagamaan Nusantara yang ditulis tangan tiga atau empat ratus tahun lalu dengan lebih mendalam dan terperinci, kesan demikian tidak selalu sepenuhnya benar. Pasalnya, di samping teks-teks akademis yang tertulis rapi sebagai matan di bagian utama manuskrip tersebut, tidak jarang terselip catatan-catatan yang jauh dari kesan ‘ilmiah’ atau ‘akademis’, melainkan lebih menggambarkan sisi-sisi humanis masyarakat pemiliknya.

Dalam sekelompok manuskrip kitab di Zawiyah (semacam ‘pesantren’ di Jawa) Tanoh Abee Aceh Besar yang kebanyakan ditulis pada kurun waktu abad 19 misalnya, kita bisa menjumpai pernak-pernik informasi tentang aneka peristiwa harian yang dialami oleh komunitas Zawiyah Tanoh Abee kala itu. Biasanya, pernak-pernik yang dibubuhkan menggunakan bahasa Arab atau Arab-Melayu tersebut ditulis tak beraturan arah sebagai catatan pias (marginalia) di sekeliling teks.

Tentang Zawiyah Tanoh Abee
Di Indonesia, bahkan mungkin di Asia Tenggara, Zawiyah Tanoh Abee di Aceh Besar bisa jadi merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tradisional tertua, yang dirintis oleh Syekh Fayrus al-Baghdadi pada sekitar 1627. Selain sebagai tempat mencetak kader-kader ulama, lembaga ini juga pernah menjadi markas perjuangan rakyat Aceh melawan kolonialisme Belanda, yang salah seorang pemimpin generasi keenamnya bernama Syekh Abdul Wahab (w. 1894).

Berkat jasa tokoh yang terkenal dengan sebutan Teungku Chik Tanoh Abee ini pula, Zawiyah Tanoh Abee menjadi lembaga pendidikan Islam yang menyimpan kitab-kitab keagamaan Islam dalam bentuk manuskrip kuno berbahasa Arab, Melayu, dan Aceh. Konon, jumlahnya pernah mencapai 3.500 an!

Jumlah manuskrip yang cukup fantastis itu, ditambah fakta bahwa isinya sering menggambarkan aspek lokal penting kehidupan di Aceh, telah mendorong Zawiyah Tanoh Abee menjadi pusat perhatian dunia sejak zaman Kolonial.

Mungkin hanya dalam manuskrip Zawiyah Tanoh Abee misalnya, kita bisa menjumpai informasi adanya Sufi perempuan di Aceh abad 19 bernama Hamidah binti Sulayman, yang mendapat ijazah tarekat Syattariyah dari Teungku Chik Tanoh Abee.

Catatan Harian dalam Manuskrip Kitab
Dalam perspektif Mazhab Annales yang dimotori Fernand Braudel (1902-1985), peristiwa harian sekecil apapun (daily life) yang terjadi di sekitar manusia dapat dianggap sebagai ‘bersejarah’, dan karenanya penting diamati untuk mengetahui sejarah masyarakat masa lalu.

Sejumlah manuskrip kitab asal Zawiyah Tanoh Abee melaporkan aneka peristiwa dan hal ‘remeh-temeh’ lain yang secara sengaja diselipkan sebagai catatan harian oleh para penyalin atau pemilik kitab masa lalu.

Sebuah manuskrip kitab berjudul Sharh al-Sughra ʻala Umm al-barahin misalnya, mengandung catatan ringan berisi informasi wafatnya seorang bernama Sayyid Abu Bakar di Kampung Jawa pada 14 Ramadan 1196 H/23 Agustus 1782 M.

Catatan tersebut berbunyi: wa-tuwiffiya sayyid Abu Bakar Kampung Jawa pada Bulan Ramadan empat belas hari bulan pada hijrah seribu seratus sembilan puluh enam tahun sanah 1196.

Teks Sharh al-Sughra sendiri adalah kitab Tauhid karangan Muhammad ibn Muhammad Mansur al-Hudʹhudi, dan catatan kematian di atas sama sekali bukan bagian dari pembahasan kitab tersebut, melainkan ’tempelan’ belaka.

Bagi mereka yang membutuhkan informasi tentang gempa dahsyat yang pernah melanda bumi Tanah Rencong pada pertengahan abad 19 juga akan terbantu oleh coretan berbahasa Arab pada manuskrip kitab fikih berjudul Fath al-wahhab karangan Abu Yahya Zakariya al-Ansari (w. 1529).

Pada lembaran kertas Eropa yang sudah berlubang tersebut dijumpai catatan berbunyi: wa-kanat al-zalzalah al-syadidah al-tsaniyah fajr yawm al-khamis tis’ah ayyam min jumadi al-akhir sanah 1248…, yang berarti bahwa sebuah gempa dashyat pernah terjadi untuk kedua kalinya di Aceh pada hari Kamis 9 Jumadil akhir 1248 H, bertepatan dengan 3 November 1832 M.

Bahkan, catatan yang berkaitan dengan tema seksual pun tidak luput dari goresan pena sang pemilik manuskrip kitab Sharh Umm al-Barahin lain karangan al-Tilimsani (w. 1490), yang membeberkan ‘resep’ supaya seorang laki-laki tidak mengalami ejakulasi dini.

‘Resep’ berbahasa Melayu itu berbunyi: bermula sebaik-baik wati [bersetubuh] itu kita ambil buah manok [Aceh: telur ayam] satu, kita keluar daripadanya yang kuning dan kita tinggal daripadanya yang putih, dan kita ambil kulit manis [kayu manis], kita lunak akan dia, dan kita kunyah akan dia pada buah yang putih, kita minum sekali dengan satu buah manok, maka tiada inzal mani hingga rubu’ [seperempat] malam, dan engkau perbuat yang demikian itu dua kali dengan dua buah manok, niscaya tiada inzal mani hingga nisfu [setengah] malam.

Berbagai kearifan lokal yang diwariskan secara tradisional dan turun temurun juga digoreskan dalam sebuah manuskrip kitab Bidayat al-mubtadi, seperti azimat supaya padi jangan dimakan tikus, supaya anak-anak tidak menangis di malam hari, cara menolak penyakit, obat bau mulut, dan beberapa lainnya.

Catatan yang tidak kurang pentingnya adalah ’amanat’ dari seseorang bernama Sulayman Cucum bin Abdurrahman agar manuskrip miliknya tidak diperjualbelikan, tidak digadaikan, dan tidak dipinjamkan sembarangan. Catatan tersebut dijumpai dalam manuskrip Kitab Tasawuf abad 18 berjudul Hidayat al-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin karangan Abdussamad al-Palimbani.

Terjemahan amanat sang pemilik naskah tersebut (aslinya dalam bahasa Arab) selengkapnya berbunyi:

Kitab ini milik hamba yang fakir dan bergantung kepada Allah, Sulayman Cucum bin Abdurrahman; segala puji bagi Allah yang Esa, aku mewakafkan kitab ini kepada pencari ilmu, tidak boleh dijual, tidak boleh digadaikan, tidak boleh disewakan, tidak boleh dipinjamkan, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan hingga Allah sendiri yang mewariskannya ke alam, Dia adalah sebaik-baik yang mewariskan; barangsiapa menyalahi amanat ini niscaya ia akan mendapat laknat Allah, Malaikat, dan semua manusia.

Masih banyak lagi khazanah keilmuan dan kearifan lokal dalam manuskrip kitab keagamaan Nusantara, karena jumlah manuskripnya sendiri mencapi puluhan ribu, yang tersimpan di dalam dan di luar negeri.

Tentu khazanah manuskrip keagamaan ini adalah warisan intelektual Islam Indonesia masa lalu yang sangat berharga, serta mencerminkan bagaimana Islam telah menyatu dalam bahasa, budaya, dan karakter masyarakat lokal setempat.

-------------
Oman Fathurahman
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta
Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA)