PENDAHULUAN
Tokoh yang satu ini meskipun tergolong orang kaya dan berkecukupan tetapi beliau malah memilih menjalani hidup sederhana. Abu Yazid al-Bustami memang mempunyai beberapa kelebihan sejak dari kandungan ibunya, kondisi yang demikian ini tentunya hanya dirasakan dan dialami oleh ibunya.
Perkembangan intelektualnya sangat luar biasa, beliau terkenal cerdas dan mampu melakukantugas dengan cekatan meskipun masih pada usia anak-anak yang semestinya tidak dapat dilakukan oleh manusia seusia mereka, tetapi Abu Yazid al-Bustami dapat melakukaknnya. Hal yang demikian tentu saja membuat orang-orang yang melihatnya terkagun-kagum, meskipun begitu manusia istimewa yang lahir di Persia ini tetap rendah hati tidak menampakkan kesombongan sedikitpun.
PEMBAHASAN
A. Nama Lengkap AbuYazid al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan al-Bustami. Ia lahir di daerah Bustam (Persia) Tahun 874M sampai dengan 947M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Sursuryan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk orang kaya di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh m,engikuti ajaran agama, serta berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu surat dari al-Qur’an surat Luqman.”Terima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu,” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang ke rumahnya untuk menemui ibunya. Itulah suatu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan Allah.
B. Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Ajran tasawuf Abu Yazid yang terpenting adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya’, yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Mengikapi hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (w,378H/988M) mendefinisikan; hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ terjadi setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya.
Setelah allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Lalu diriku dicap dengan keridaanNya. Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan,’ kataNya. Engkaulah yang aku inginkan,’ jawabku,’’ karena Engkau lebih utama daripada anugerah, lebih besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau, aku mendapatkan kepuasan dalam diriMu.
Jalan menuju fana’, menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya,”Bagaimana caranya agar aku sampai kepadaMu.” Tuhan menjawab,”Tinggalkan diri (nafsu)mudan kemarilah,” Abu Yazid pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya.
أَعْرِفُهُ حَتَّى فَنَيْتُ ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ فَحَيَيْتُ
“Aku tahu kepada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’ kemudian aku tahu kepada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup,”
Adapun baqa’ berasal dari kata ‘baqiya’ dari segi bahasa artinya tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti medirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah, faham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan fahan fana’ , keduanya merupakan faham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’ ketika itu juga seang mengalamai baqa’. Dengan demikian dua kondisi dan situasi antara fana’ dan baqa’ adalah sebuah situasi yang tidak dapat dipisahkan atau tidak dapat berdiri sendiri-sendiri, keduanya saling mendukung dan menopang.
Ketika sedang menrangkan kaitan antara fana’ dan baqa’, al-Qusyairi menyatakan, “bahwa barang siapa yang meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, ia sedang fana’, syahwatnya. Tatkala fana’ dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan ibadah. Barang siapa yang hatinya zuhud dari keduniaan , ia sedang fana’ dari keinginannya, dengan demikian berarti pula sedang baqa’ dalam ketulusan inabahnya dan ketulusan pengabdiannya.
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seseorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literature klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan. Apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa atau ajaran ini sangat sulit di praktekkan dan mmasih perlu pembahasan, merupakan pertanyaan yang perlu dianalisis lenih lanjut. Namun menurut Harun Nasutiom uraian tentang ittihad banyak terdapat dalam buku karya para orientalis.
Dalam tahapan ittihad, seseorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya., Dalam paparan Harun Nasution tahapan ittihad adalah satu tingkatan ketika seseorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, satu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata,”Hai aku,”
Dengan mengutip pendangan A.R al-Baidawi, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, walaupun sesungguhnya ada dua wujud yang terpisah satu dengan lainnya. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, dalam ittihad bias terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai, karena fana’nya telah tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Dalam dunia fana’nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, bahwa ia telah berada di dekat Tuhan dapat dilihat dari syathahat yang diucapkannya. Syathahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan orang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad. Ucapan-ucapan yang demikian ini belum pernah didengar dari sufi sebelumnya. Ucapan Abu Yazid adalah :
لَسْتُ أَتَعَجَّبُ مِنْ حُبِيْ لَكَ فَأَ نَاعَبْدٌ فَقِيْرٌ وَلكِنّيْ أَتَعَجَّبُ مِنْ حُبّكَ لِيْ وَأَنْتَ مَلِكٌ قَدِيْرٌ
“Aku tidak heran terhadap cintaku kepada-Mu, karena aku adalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu kepadaku, karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa,”
Tatkala berada dalam tahapa ittihad, Abu Yazid berkata:
قَالَ: يَاأَبَايَزِيْدَإِنَّهُمْ كُلُّهُمْ خَلْقِيْ غَيْرَكَ. فَقُلْتُ: فَأَنْتَ أَنَا وَأَنَا أَنْتَ.
“Tuhan berkata, “Hai Abu Yazid! Mereka Semua, kecuali engkau, adalah makhluk. Akupun berkata, :”Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau,”
Selanjutnya Abu Yazid berkala lagi:
فَانْقَطَعَ الْمُنَاجَةُ فَصَارَالْكَلِمَةُ وَاحِدَةً وَصَارَالْكُلُّ بِالْكُلّ وَاحِدًا.فَقَالَ لِيْ: يَاأَنْتَ،فَقُلْتُ بِهِ:يَاأَنَا,فَقَالَ لِيْ:أَنْتَ الْفَرْدُ.قُلْتُ:أَنَاالْفَرْدُ.فَقَالَ لِيْ: أَنْتَ أَنْتَ، قُلْتُ: أَنَاأَنَا.
“Konversasipun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Iapun berkata,”hai engkau”. Akupun dengan perantaraan-Nya, menjawab. “Akulah yang satu”. Ia berkata lagi, Engkau adalah Engkau. Aku balik menjawab, Aku adalah Aku,”
Sehabis salat Subuh, Abu Yazid pernah berucap,
إِنَّنِيْ أَنَااللهُ لاَإِلهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِيْ.
“Sesungguhnya Aku adalah Allah. Tidak ada Tuhan Selain Aku, Maka sembahlah Aku,”
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya,”Siapa yang engkau cari?” Orang tersebut menjawab,”Abu Yazid. Lalu Abu Yazid berkata,”Pergilah, di rumah ini tidak ada Abu Yazid, kacuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi,”
Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau didengar secara sepintas akan memberikan kesan bahwa ia sudah syirik kepada Allah. Oleh Karena itu, dalam sejarah, diantara para sufi, ada yang ditangkap dan dipenjara disebabkan oleh ucapannya yang membingungkan umat.
Oleh karena itulah, maka untuk mencerna ucapan-ucapan Abu Yazid hendaknya dilakukan dengan cermin hati yang baijaksana jauh dari emosi dan prasangka buruk. Hal ini untuk menjauhkan (menghindari) kesan yang kurang baik terhadap Abu Yazid, sehingga akan menimbulkan kebingunan. Akan lebih baik apabila ditelaah dengan detail kemudian ditarik dengan garis lurus sebagai seseorang yang sangat mencintainya Tuhannya.
KESIMPULAN
1. Abu Yazid lahir dalam keluarga yang kaya raya, tetapi ia menjauh dan pergi dari kekayaannya tersebut untuk menemukan kehidupan yang damai dan sejahtera.
2. Abu Yazid adalah makhluk yang sangat mencintai Allah, bahkan melebihi segalanya. Sehingga ia berani mengambil resiko yang kontras demi menggapai cintanya kepada Allah.
3. Abu Yazid sangat peduli terhadap penderiatan sesame manusia. Meskipun seringkali ditanggapi kurang baik oleh lingkungan disebabkan ajaran-ajarannya yang dianggap membingungkan meski pada dasarnya sama sekali jauh dari perbuatan yang sesat.
4. Hendaknya kita meneladani apa-apa yang telah dilakukan oleh Abu Yazid, khususnya masalah yang mengambil hidup zuhud (menjauh dari hal-hal keduniaan) meskipun ia lahir pada keluarga yang kaya raya.
5. Hendaknya kita meneladani bagaimana Abu Yazid dapat mencintai Allah dengan segala upayanya, bahkan melebihi segalanya, sehingga Abu Yazid mampu berada di dekat Tuhan.
6. Hendaknya dalam hidup, manusia harus selalu mendendangkan (mengingat) Allah, Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga dalam setiap gerak kehidupannya ia selalu merasa diawasi dan ditemani oleh Tuhan.